Konsep
Woman Asociation of Creative Craft (WACC)
Berbasis Knwoledge Sharing
Pada UMKM
Untuk Meningkatkan Produktivitas Kinerja dan Daya Saing Berkelanjutan
di Era
Perdagangan Bebas
Oleh
Ikhsan, Merlin, Vitri
I.
Pendahuluan
Perjanjian
perdagangan antara ASEAN – Cina dan diberlakukanya CAFTA (China Asean
Free Trade Area) pada 1 Januari 2010 telah mengancam
pangsa pasar industri lokal. Jika hal ini terus dibiarkan, pangsa pasar
domestik akan turun karena kalah dalam persaingan harga. Produk Cina yang ada di pasaran bisa
lebih murah tiga kali lipat daripada produk lokal. Salah satu sektor yang pasti akan
terkena dampaknya adalah sektor UMKM terutama untuk sektor UMKM di daerah.
Jika di satu
sisi, tidak diragukan kebenarannya bahwa daya saing UMKM sedang menghadapi
ancaman dari penetrasi pasar internasional seperti dari negara Cina atau India
(karena pada kedua negara tersebut memiliki tingkat upah tenaga kerja yang
relatif lebih rendah). Di sisi lain juga muncul kenyataan bahwa di dalam proses
globalisasi yang sedang berlangsung juga menawarkan peluang dalam hal
pertumbuhan pasar yang sangat cepat, “memendeknya jarak”, dan integrasi budaya.
Upaya pihak
industri yang berada di dalam negara yang berbiaya tinggi, umumnya menggunakan
beberapa strategi yang berbeda untuk mencapai daya saingnya di lingkungan
global, diantaranya adalah:
1.
Menurunkan tingkat upah tenaga
kerja dan biaya produksi dari komponen biaya yang lainnya sampai pada tingkatan
yang cukup untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang berbiaya
rendah.
2.
Merubah capital-labor ratio agar
dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
3.
Melakukan outsourcing pada
bagian rantai suplai yang membutuhkan jumlah tenaga kerja kepada negara-negara
yang berbiaya rendah (OECD, 2000).
Strategi
tersebut di atas memiliki perspektif jangka pendek yang juga memiliki dampak
“menyakitkan” seperti meningkatnya jumlah pengangguran atau menurunnya standar
hidup tenaga kerja. Oleh karena itu penulis mengusulkan adanya penggunaan
strategi baru yang membutuhkan perubahan struktural ke arah aktivitas-aktivitas
ekonomi yang berbasis pengetahuan (knowledge-based economic activities).
Beberapa peneliti dan analis, akhir-akhir ini menunjukkan tentang cara
memberdayakan kemampuan inovatif melalui investasi dalam bentuk penciptaan dan
penyebaran pengetahuan melalui knowledge sharing untuk
meningkatkan daya saing secara jangka panjang dan berkelanjutan.
Disamping itu
strategi ini juga akan lebih maksimal jika diintegrasikan dengan bentuk
asosiasi pengrajin UMKM. Dengan melakukan studi kasus UMKM di Kecamatan Gudo Kabupaten Jombang yang
kebanyakan dari mereka adalah para ibu-ibu dan dengan keberhasilan sentra
industri di Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo,
maka penulis mencoba mengususlkan adanya asosiasi UMKM yag lebih feksibel
dengan basis knowledge sharing . Hal ini akan semakain mudah dan
dapat meningkatkan produktivitas kinerja dan daya saing UMKM dalam menghadapi
persaingan dan perdagangan bebas sekarang ini.
II.
Potret
UMKM dalam Perekonomian Indonesia
UMKM adalah salah satu komponen
penting bagi perekonomian di Indonesia. Ketika terjadi krisis ekonomi pada
tahun 1997, sektor UMKM-lah yang mampu menyelamatkan setidaknya sebagian
kondisi perekonomian Indonesia. Selain itu sektor UMKM menjadi salah satu
penyumbang ekonomi terbesar di Indonesia.
Berdasarkan informasi dari data Usaha
Kecil Menengah (UKM), BPS pada bulan Mei 2008 telah menjelaskan beberapa indikator
kunci UMKM sebagai berikut:
1.
Bila dirinci menurut skala usaha,
pertumbuhan PDB Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mencapai 6,4 persen dan Usaha
Besar (UB) tumbuh 6,2 persen. Pada tahun 2007 total nilai PDB Indonesia
mencapai Rp 3.957,4 triliun, dimana UKM memberikan kontribusi sebesar Rp
2.121,3 triliun atau 53,6 persen dari total PDB Indonesia.
2.
Jumlah populasi UKM pada tahun 2007
mencapai 49,8 juta unit usaha atau 99,99 persen terhadap total unit usaha di
Indonesia, sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 91,8 juta orang atau 97,3
persen terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia.
3.
Nilai investasi fisik UKM yang
dinyatakan dengan angka Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada tahun 2007
mencapai Rp 462,01 triliun atau 46,96 persen terhadap total PMTB Indonesia.
Tabel 3 : Laju Pertumbuhan PDB
UKM 2005-2007 (dalam persen)
Skala Usaha
|
2005
|
2006
|
2007
|
Usaha Kecil
|
5,82
|
5,50
|
6,18
|
UsU Usaha
Menengah
|
6,25
|
6,27
|
6,84
|
UKM
|
5,95
|
5,73
|
6,38
|
Usaha Besar
|
5,73
|
5,23
|
6,24
|
Total
|
5,69
|
5,51
|
6,32
|
Sumber : BPS
Indonesia, 2008
Melihat fakta di atas, terlihat bahwa
UKM memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia. Ini belum termasuk
sektor usaha mikro yang tentu saja cukup banyak melakukan kegiatan perekonomian
di Indonesia. Ditambah lagi sektor UMKM terkenal dengan ketahanannya terhadap
gejolak siklus bisnis di suatu negara. Selama ini justru UMKM acapkali
menyelamatkan perekonomian Indonesia melalui penyerapan tenaga kerja informal
yang pada masa resesi harus kehilangan tenaga kerja formalnya.
Jadi,
pengembangan UMKM sangat relevan dilakukan di Indonesia. Di tengah krisis
keuangan global yang sedang mengancam perekonomian tiap negara, mengembangkan
UMKM (sektor riil) dapat menjadi salah satu pilihan mengantisipasi krisis
keuangan global. Rachmat Gobel, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang
Industri, Teknologi dan Kelautan, mengatakan bahwa krisis keuangan global yang
sedang terjadi saat ini dapat dijadikan momen yang sangat tepat untuk memperkuat dan
mempercepat implementasi kebijakan dengan berbagai insentif untuk sektor mikro guna mewujudkan terciptanya kesejahteraan rakyat
III.
Studi
Kasus Gambaran dan Perbandingan Keberadaan UMKM di Dua Kabupaten Besar Di Jawa
Timur
Dibawah
ini terdapat dua jenis industri kecil yang bersifat kontras. Industri kerajinan
manik- manik yang masih tradisional tanpa wadah pengelolaan dari pemerintah dan
industri kerajinan tas tanggulangin yang lebih modern dan sudah tersentuh
asosiasi dari pemerintah.
a.
Sentra Kerajinan Manik- Manik Gudo Jombang
Industri
kerajinan manik- manik adalah jenis industri kecil utama yang menyerap tenaga
kerja paling banyak di Jombang. Pada akhir 2009, jumlah pengusaha kecil
manik-manik sebesar 120 orang dan menyerap tenaga kerja hingga 1.500 orang.
Lokasi kerajinan dengan skala industri kecil ini terletak di Desa
Plumbon-Gambang Kecamatan Gudo. Daerah ini dikenal sebagai sentra kerajinan manik-manik sejak akhir
tahun 70-an. Terdapat dua jenis manik- manik yang diproduksi di
tempat ini, yaitu Glass Beads dan Resin
Beads. Manik- manik tersebut dirangkai menjadi gelang, kalung, gantungan
kunci, dan bross dengan harga jual Rp 3.000 – Rp 30.000 perbuah. Kerajinan ini
telah merambah pasar ekspor, yaitu Amerika Serikat, Jepang, Israel, dan
Australia dengan omset ratusan Dollar. Serta menjadi salah satu produk yang
banyak dijumpai di Pasar Seni Bali, Kalimantan dan kota- kota besar di Jawa.
Dalam beberapa bulan terakhir volume penjualan manik- manik mengalami penurunan
hingga 40-50%. Hal ini disebabkan karena munculya manik- manik mengkilat dari
Cina dengan harga yang lebih murah hingga 2-3 kali lipat.
Industri
kerajinan manik- manik ini masih tradisional, baik dari segi teknik produksi
yang manual maupun manajemennya. Pemerintah Kabupaten Jombang setempat sudah
berupaya untuk mewadahi mereka dalam bentuk koperasi, namun kesadaran pengrajin
tersebut masih rendah karena anggapan bahwa wadah yang dibentuk pemerintah
tersebut terlalu rumit birokrasinya. Mereka lebih memilih menjual produknya
secara direct selling dan independen.
Meskipun sudah terdapat satu asosiasi yang menaungi para pengrajin ini, yaitu
Asosiasi Pengusaha Manik dan Aksesori (APMA), namun organisasi tersebut hanya
bersifat organisasi kebersamaan yang informal dan tidak terstruktur, sehingga
belum memberikan dampak yang nyata bagi para pengrajin. Dalam perkembangannya
kerajinan manik- manik ini masih menghadapi berbagai permasalahan. Modal
pengrajin yang rendah, pemasaran dan promosi yang tersendat- sendat, isu CAFTA
serta rendahnya nilai tawar perajin di pasaran.
Oleh karena itu, masing-masing perajin memasarkan produksinya secara
langsung ke Pulau Bali. Pengrajin pun tidak terorganisir
dengan baik, maka dalam penawaran terjadi perang harga. Akibat dari itu semua,
anjloknya harga menjadi tidak terkendali. Ketika sudah terjadi “perang pasar”, maka barang di jual dengan
harga di bawah biaya produksi’. Sehingga konsumenlah yang kemudian menjadi “ price taker “. Selain itu terdapat
kesenjangan yang tinggi antara pengrajin yang sudah berskala usaha besar dan pengrajin
yang omsetnya masih kecil. Pengrajin besar dapat menembus pasar ekspor,
sedangkan pengrajin kecil hanya mengandalkan pasar lokal yang itupun tidak
menentu.
b. Sentra Kerajinan Tas Kulit Tanggulangin
Sentra
kerajinan ini adalah salah satu ikon kota Sidoarjo. Berdiri sejak tahun 1950an
terbentuk karena banyak perajin yang bekerja di berbagai perusahaan industri
tas di Surabaya. Dengan pengalaman yang didapatkan dari perusahaan, mereka
kemudian mendirikan usaha sendiri. Produk yang dihasilkan antara lain tas,
koper, dompet, ikat pinggang dan sepatu. Produk ini telah memiliki brand dan mutu yang cukup bagus yang
sudah diakui oleh konsumen. Tetapi setelah terpuruk karena hempasan badai
krisis moneter, dilanjut dengan serbuan barang-barang produk Cina yang harganya
sangat kompetitif, namun kualitasnya buruk. Belum sembuh, muncul bencana
semburan Sidoarjo, yang juga ikut andil dalam keterpurukan tersebut. Praktis,
hampir 2 tahun lamanya sentra industri tas dan koper Tanggulangin sepi
pengujung,– sebagian besar memang wisatawan dari luar daerah yang sedang
transit.
Sebelum terjadinya bencana luapan lumpur
Lapindo 2006, sentra industri ini sangat berkembang. Sedikitnya ada sekitar 500
pengusaha dan tenaga kerja yang terlibat di sektor ini mencapai 4.000 orang dengan
omzet total perhari mencapai 1 miliar.
Mekanisme pengelolaan atau manajemen usahanya pun sudah tergolong
teratur. Pengrajin- pengrajin di Tanggulangin ini diwadahi dalam suatu
organisasi koperasi pengrajin yang bernama INTAKO sejak tahun 1976 dengan
rata-rata produksi 250 sampai 1.000 tas dan koper per hari. Modal usaha
diperoleh dari simpanan pokok anggota. Dalam perjalanannya, koperasi itu terus
berkembang dan jumlah anggotanya sudah mencapai 354 perajin dengan aset sekitar
Rp 10 miliar.
Melalui peran serta koperasi INTAKO, skala
usaha kerajinan kecil Tanggulangin semakin pesat, mampu menembus pasar ekspor
dan dalam negeri. Adanya kesadaran dan kerjasama pengrajin dan asosiasi yang
menaungu mereka merupakan salah satu penyebab kemajuan itu. Koperasi INTAKO
berperan dalam menyediakan bahan baku, melakukan mediasi pemasaran dan order
serta melakukan perjanjian kerjasama kesepakatan harga, sehingga pengrajin
tidak dipermainkan oleh konsumen.
Melalui asosiasi diharapkan penjualan dapat
dibantu dari segi pemasarannya, dan untuk mengatasi terjadinya persaingan di
antara para pengusaha, maka mereka mensiasatinya dengan memproduksi barang dari
kulit dengan model yang lebih variatif, dan berbeda satu pengusaha dengan
pengusaha lainnya. Karena itu, melalui asosiasi diharapkan terjadi kemitraan
yang lebih konkret, sehingga nantinya Tanggulangin masih memiliki harapan
pengembangan yang lebih baik lagi ke depannya.
Sampai kini, wilayah tersebut masih
mengandalkan sebagian besar penjualan produknya (60 persen) dari penjualan tas
wanita, dan sisanya adalah keperluan lainnya mulai dari tas bepergian, dompet,
ikat pinggang, dan sepatu kulit. Selain itu, pengrajin juga melakukan kerjasama
kemitraan dengan Kemitraan Pengusaha Besar (Pemilik Merek) dan Mitra Binaan sebagai
salah satu bentuk kemitraan/sinergi antara pengusaha besar (pemilik merek) yang
kini juga tengah berkembang menjadi satu bentuk trend di wilayah Sidoarjo.
Kerjasama tersebut dalam bentuk order yang diberikan kepada mitra binaan
produsen sepatu. Usaha seperti ini memberi harapan bagi penyerapan tenaga kerja
lebih besar, apalagi kalau pesanannya bertambah, pengusaha sampai harus
memperluas perusahaan dan menambah jumlah line produksi.
IV.
Konsep WACC (Women Association of Creative Craft)
Dalam konsep ini UMKM yang
terdiri dari pengrajin- pengrajin tersebut diwadahi dalam suatu organisasi atau
asosiasi pengrajin. Asosiasi ini memiliki sistem yang berbeda dengan asosiasi
pengrajin pada umumnya. Sebagian besar pengrajin di Indonesia yang memiliki
tingkat kreativitas dan keuletan tinggi adalah wanita, sehingga pengurus
organisasi ini adalah wanita. Selain itu asosiasi ini akan lebih meningkatkan
peran serta wanita dalam perekonomian kerakyatan. Terdapat beberapa kegiatan
yang dilakukan WACC untuk meningkatkan produktivitas UMKM, yaitu: Pertama, Pengontrolan
harga, hal ini dilakukan agar harga produk antar satu pengrajin dengan
pengrajin lainnya bisa selaras dan tidak terjadi permainan harga diantara
produsen. Kedua, Mediasi Bahan baku dan Pemasaran, agar supply bahan baku yang
dibutuhkan pengrajin dapat berjalan dengan lancar dan pengrajin dapat menemukan
pasar yang sesuai. Ketiga adalah pelatihan entrepreneurship bagi pengrajin agar
SDM pengrajin bisa meningkat.
V.
Strategi
Penerapan Knowledge Sharing Dalam WACC (Women
Association of Creative Craft)
UMKM
sebenarnya menghadapi dua sisi dilematis yang disebabkan oleh kondisi
arsitektur UMKM, yaitu: kemampuan adaptasi dan fleksibilitas UMKM yang relatif
tinggi karena memiliki UMKM ukuran yang kecil, dan sekaligus ketidakberdayaan UMKM
dalam menjalankan aktivitas-aktivitas penelitian & pengembangan serta di
dalam melakukan inovasi karena keterbatasan skala ekonomis akibat memiliki
ukuran yang kecil tersebut.
Untuk
itu, berdasarkan uraian diatas penulis mengusulkan konsep knowledge sharing.
Beberapa peneliti dan analis, akhir-akhir ini menunjukkan tentang cara
memberdayakan kemampuan inovatif melalui investasi dalam bentuk penciptaan dan
penyebaran pengetahuan melalui knowledge sharing untuk
meningkatkan daya saing secara jangka panjang dan berkelanjutan. Jadi knowledge
sharing adalah suatu hal yang sangat menentukan di dalam mempertahankan
keunggulan bersaing melalui inovasi atau aktivitas-aktivitas penciptaan nilai
yang lainnya (Pinch et al., 2003)
Untuk
itu UMKM sebaiknya menempuh langkah-langkah tindakan sebagai berikut:
1.
Mengelola dimensi knowledge sharing melalui
Communities of Practices (CoPs) agar UMKM dapat mengintegrasikan dan
menghasilkan kolaborasi yang lebih baik antar partner (Segura et.al., 2005).
2.
Mengelola dimensi external expertise &
capabilities dalam jaringan bisnis diantara perusahaan, penyedia jasa
layanan usaha (misal: institusi pelatihan, sentra teknologi, dan sebagainya)
dan perumus kebijakan lokal, yang dapat mendukung pembentukan suatu visi
pengembangan UMKM secara bersama-sama dan memperkuat tindakan kolektif untuk
meningkatkan daya-saing UMKM (Cegile, et al., 1999; Tambunan, 1997).
3.
Mengelola dimensi knowledge sharing antar
perusahaan berguna: untuk memperbaUMKMi kualitas produk dan untuk meraih
segmen-segmen pasar yang lebih menguntungkan, serta untuk pengembangan
strategi-strategi bisnisnya agar mampu meningkatkan daya saingnya. ( Cegile dan
Dini,1999).
4.
Mempertimbangkan dimensi struktur, budaya, dan
acuan interaksi knowledge sharing sesuai karakteristUMKM organisasi UMKM
agar kondusif bagi upaya peningkatan daya saing UMKM (Wen-Bao,2007).
Selanjutnya
dengan mengadaptasi kesuksesan asosiasi UMKM di Tanggulangai maka pembentukan WACC (Women Association of Creative Craft) ini akan menjadi solusi
implementatif untuk mengatasi tantangan UMKM di era perdagangan bebas sekarang
ini.
VI.
Penutup
Konsep
WACC layak diaplikasikan dalam upaya pengembangan industri kerajinan kecil di
Indonesia. WACC dapat memberikan banyak keunggulan bagi pengrajin, masyarakat
sekitar, pemerintah dan perekonomian secara umum. Keunggulan tersebut antara
lain:
1.
Pengurus WBC terdiri dari para wanita
dengan tingkat ketelitian dan loyalitas yang lebih tinggi, maka produktivitas
dan kredibilitas WACC dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, rasio
ketergantungan akan menurun karena pemberdayaan wanita pengrajin yang sebagian
besar ibu rumah tangga dan remaja yang tidak melanjutkan sekolah. WACC dapat
mensinergiskan Kelompok Usaha Bersama dan Asosiasi yang sudah terdapat di sentra
tersebut. Kerjasama akan tercapai karena masing- masing memiliki wewenang yang
berbeda. WACC juga dapat menjadi mediator antara pengrajin dengan Dinas KUMKM
dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian.
2.
Dengan menerapakan kwoledge sharing maka
proses penciptaan ide-ide kreatif dan
inovatif akan semakin cepat dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam
asosiasi akan memilii nilai pengetahuan. Sehingga dapat memacu produktivitas
dan kinerja lebih baik lagi
Referensi
Badan Pusat Statistik Indonesia. Berita Resmi Statistik: Perkembangan
Indikator Makro UKM Tahun 2008. No. 28/05/Th XI, 30 Mei 2008
Cegile, G. and Dini M., (1999). SME
Cluster and Network Development in Developing Countries: The Experience of
UNIDO. UNIDO PSD Technical Working Papers Series.
Pinch, S., N. Henry, M. Jenkins, and S.
Tallman, 2003, ‘From 'industrial districts' to 'knowledge clusters': a model of
knowledge dissemination and competitive advantage in industrial
agglomerations’, Journal of Economic Geography 3(4), 373-88.
Segura, Gerardo GutiƩrrez;
Deslandres, Veronique; Dussauchoy, Alain. (2005). A Knowledge Management Based
Framework as a Way for SME Networks Integration. Emerging Solutions for
Future Manufacturing Systems. Springer Science + Business Media, Inc.
www.digilib.its.ac.id. Strategi
pengembangan kawasan sentra industri kerajinan kulit Tanggulangin diakses pada
24 Mei 2010:19.00
www.jombangkab.go.id. Asosiasi pengusaha
manik-manik dan assesoris. Diakses pada 20 Maret 2010:14.12
www.
Bisnisukm.com. Indistri tas dan koper tanggulangin sidoarjo tetap eksis.
Diakses pada 24 Mei 2010: 18.55