Implementasi Information Technology (IT) pada Business Process Reengineering (BPR) sebagai Upaya Peningkatan Organizational Performance
Abstract
Environmental
changes that occur in a dynamic business requires companies to improve business
processes appropriately. Plus there is the
development of increasingly sophisticated information technology in this era of
globalization. Given these two things, a business organization can apply
business process reengineering, which is a redesign of a business system is
essential and the radicals to gain a dramatic improvement that is supported
fully by the use of information technology. Through this information technology optimization organization will get a
huge benefit by increasing organizational performance in order to provide a
quality service to customer.
Keyword : Business
Process Reengineering,
Information Technology, Organizational
Performance
I.
Pendahuluan
Pendekatan
untuk proses rekayasa bisnis proses (BPR) telah menimbulkan
masalah bagi perusahaan yang berusaha untuk melakukan program yang benar-benar murni BPR dalam organisasi dunia nyata. Masalah ini mungkin
disebabkan oleh organisasi-organisasi tersebut memiliki kelemahan untuk melihat BPR sebagai bagian dari proses
transformasi yang lebih besar atau oleh para perencana yang mempertimbangkan peran kini teknologi
informasi (TI) di dalam organisasi mereka. Hammer
(1993) awalnya menganjurkan pendekatan berbasis
bisnis untuk BPR dan ini mungkin telah menyebabkan mereka meremehkan peran TI
di BPR.
Ditambah
lagi, dewasa ini telah terjadi perubahan peranan teknologi informasi di dalam organisasi. Hal ini
merupakan sebuah transisi dari sebuah era industrialisasi ke era informasi dan
jasa. Perubahan permintaan akan produk dan jasa berubah pada era ini jelas
memberikan pengaruh bagaimana cara mengorganisasikan perusahaan dan bagaimana
cara untuk menjadikan organisasi kompetitif (Martin 1981). Pada era setelah
industrialisasi karakteristiknya meningkat secara turbulen (Naisbitt 1982).
Teknologi baru dan pemanfaatannya secara efektif akan membuat pengembangan dan
penelitian hanya membutuhkan waktu yang singkat sehingga mengakibatkan daur
hidup produk lebih singkat. Hal yang sama juga terjadi pada advertensi dan
distribusi akan menyebabkan pesaing menguasai pasar dengan lebih cepat
dibandingkan. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dibahas implementasi TI
pada proses bisnis re-engineering.
Sharma
(2006) mengemukakan bahwa proses bisnis rekayasa ulang adalah proses yang
menyiratkan perubahan secara bersama-sama
untuk membentuk suatu komponen dari suatu sistem yang lebih besar yang
bertujuan membantu organisasi untuk memberdayakan diri mereka sendiri melalui solusi bisnis dengan teknologi
kontemporer dan inovasi. Proses Re-engineering
dapat diterapkan dalam strategi perusahaan secara
keseluruhan, untuk keuntungan kompetisi yang berkelanjutan, biaya pemeriksaan, membedakan produk dan efektif manajemen harga dengan intensitas
yang lebih besar dan kemudian tanpa cacat.
Dengan adanya TI maka diharapkan Business Process Reengineering dapat menjadi senjata yang berguna
untuk setiap perusahaan yang mencari peningkatan
kinerja organisasi saat ini dan bermaksud untuk mencapai biaya operasi minimal
dan kepemimpinan dalam industri dan lingkungan. Rekayasa
ulang proses tetap merupakan alat yang efektif
bagi organisasi berjuang untuk beroperasi di dunia yang kompetitif. Organisasi
diwajibkan untuk melakukan proses re-engineering
proses bisnis mereka untuk mencapai terobosan kinerja dan strategi jangka
panjang untuk pertumbuhan organisasi.
II.
Definisi
BPR
Dalam dekade
terakhir ini, memperbaiki proses bisnis secara terus-menerus sangat penting
apabila suatu perusahaan masih menghendaki dapat bersaing di pasar. Selama
waktu itu perusahaan dipaksa untuk terus memperbaiki proses bisnisnya karena
para pelanggan menuntut barang dan jasa yang lebih baik. Salah satu pendekatan baru untuk perubahan yang cepat
dan dramatis tersebut muncul, yaitu yang dinamakan Business Process
Reengineering (BPR). Secara
ekstrim, dapat dikatakan bahwa BPR menganggap dan mengandaikan bahwa proses
yang digunakan sekarang sudah tidak relevan lagi, tidak layak lagi, sudah
kadaluwarsa, sehingga harus dilupakan dan ditinggalkan. Sikap semacam ini
memungkinkan para designer proses bisnis untuk tidak terikat lagi pada
proses yang lama, namun terfokus pada proses yang baru.
Definisi mengenai BPR ini menurut Michael Hammer dan
James Champy (1993) adalah
bahwa “Business Process Reengineering is the fundamental rethinking and
radical redesign of business systems to achieve dramatic improvements in
critical, contemporary measures of performance,such as cost, quality,
service and speed”. Definisi tersebut, terdapat empat
kata kunci yaitu fundamental, radikal, dramatis dan proses (Indrajit,2002:69).
1.
Fundamental
Dalam melakukan proses reengineering dua pertanyaan mendasar yang akan ditujukan adalah “Mengapa
perusahaan berbuat seperti apa yang perusahaan perbuat?” dan “Mengapa
perusahaan berbuat dengan cara seperti yang perusahaan kerjakan sekarang?”.
Jika pertanyaan fundamental ini diajukan, maka akan memaksa pelaku bisnis untuk
menggunakan asumsi dan aturan tak tertulis yang mendasari bisnis mereka,
seringkali asumsi atau aturan ini keliru dan tidak tepat. Pertanyaan yang harus diajukan bukan "Apa yang sudah
dikerjakan?", tetapi "Bagaimana seharusnya dikerjakan?". Jawaban
atas pertanyaan fundamental akan melahirkan juga sesuatu yang fundamental,
yaitu tindakan perubahan yang fundamental. Reenginering
disini berarti memulai sesuatu dari awal, tanpa asumsi dan pertama menentukan
apa yang harus dilakukan oleh perusahaan kemudian bagaimana cara melakukannya.
2.
Radikal
Radikal diserap dari bahasa latin "radix"
yang berarti akar. Desain radikal dari proses bisnis berarti mendesain ulang
sesuatu sampai ke akarnya, tidak memperbaiki prosedur yang sudah ada dan
berusaha melakukan optimasi. Menurut Hammer, desain radikal berarti mengabaikan
seluruh struktur dan prosedur yang sudah ada dan menemukan cara baru yang
benar-benar berbeda dengan sebelumnya dalam menyelesaikan pekerjaan. Reengineering bukan merupakan business improvements, atau business enchacement, ataupun business modification, tetapi mengenai business reinvention.
3.
Dramatis
Reengineering bukanlah
suatu usaha mencapai perbaikan sedikit demi sedikit dan bertahap yang bersifat marginal atau incremental, tetapi merupakan usaha mencapai lompatan besar dalam
perbaikan dan peningkatan performansi perusahaan. Tiga jenis perusahaan yang
memerlukan reengineering adalah (1) perusahaan yang berada dalam kesulitan besar, (2) perusahaan yang belum mengalami kesulitan, tetapi
mengantisipasi akan mengalami kesulitan, dan (3) perusahaan
yang tidak mengalami kesulitan, tetapi justru berada pada puncak kerjanya.
4.
Orientasi
Proses
Orientasi pada proses merupakan kata kunci terpenting
dalam definisi BPR, tetapi merupakan hal yang memberikan kesulitan besar bagi
para manajer. Kebanyakan pelaku bisnis tidak berorientasi pada proses, tetapi
pada tugas, pekerjaan, orang, dan struktur.
III.
Tinjauan
Organizational Performance
Konsep
kinerja (performance) dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian
hasil atau degree of accomplishtment (Rue dan Byars, 1981). Hal ini
berarti bahwa, kinerja suatu organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh
mana organisasi dapat mencapai tujuan yang didasarkan pada tujuan yang sudah
ditetapkan sebelumnya. Informasi tentang kinerja organisasi dapat digunakan
untuk mengevaluasi apakah proses kerja yang dilakukan organisasi selama ini
sudah sejalan dengan tujuan yang diharapkan atau belum. Akan tetapi dalam
kenyataannya banyak organisasi yang justru kurang atau bahkan tidak jarang ada
yang tidak mempunyai informasi tentang kinerja dalam organisasinya.
Untuk
menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau
kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria
yang jelas tidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang
relatif lebih efektif diantara berbagai alternatif alokasi sumber daya yang
berbeda, alternatif desain-desain organisasi yang berbeda, dan diantara
pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan wewenang yang berbeda (Bryson, 2002).
Yang menjadi permasalahannya adalah kriteria apa yang digunakan untuk menilai
organisasi.
Sebagai
sebuah pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan
atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi
privat/swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yang
dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut
mampu memproduksi barang untuk menghasilkan keuntungan bagi organisasi.
Indikator yang masih bertalian dengan sebelumnya adalah seberapa besar
efisiensi pemanfaatan input untuk meraih keuntungan itu dan seberapa besar
efektivitas proses yang dilakukan untuk meraih keuntungan tersebut.
Sementara
itu ada indikator yang sering kali digunakan untuk mengukur kinerja organisasi
privat/publik seperti: work lood/demain, economy, efficiency,
effectiveness dan equity (Sclim dan Wood ward, 1992) productivity(Perry,
1990 dalam Dwiyanto, 1995). Namun, ada juga beberapa indikator yang biasanya
digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik (Dwiyanto, 1995) yaitu
sebagai berikut:
a.
Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya
mengukur tingkat efisiensi saja, tetapi juga efektivitas pelayanan.
Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output.
b.
Kualitas
Layanan
Kepuasan masyarakat bisa menjadi
parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.
c.
Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan
organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat menyusun agenda dan prioritas
pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d.
Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah
pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan
organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit (Lenvine, 1990).
e.
Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjukan pada
seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para
pejabat politik yang dipilih oleh rakyat, asumsinya adalah bahwa para pejabat
politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu
merepresentasikan kepentingan rakyat.
Sedangkan
menurut Kumorotomo (1995) beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam
menilai kinerja organisasi pelayanan publik diantaranya adalah (1) efisiensi, menyangkut pertimbangan keberhasilan
organisasi pelayanan publik dalam mendapatkan
laba, memanfaatkan fakltor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari
rasionalitas ekonomis, (2) efektivitas, berkaitan
dengan pencapaian tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik, (3) keadilan, mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh
organisasi pelayanan publik, dan (4) daya tanggap, sebagai bagian dari daya tanggap pemerintah akan
kebutuhan vital masyarakat, kriteria
organisasi secara
keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan.
Sebagai
produk dari kegiatan organisasi dan manajemen, kinerja organisasi selain
dipengaruhi oleh faktor-faktor input juga sangat dipengaruhi oleh proses-proses
administrasi dan manajemen yang berlangsung. Sebagus apapun input yang tersedia
tidak akan menghasilkan suatu produk kinerja yang diharapkan secara memuaskan,
apabila dalam proses administrasi dan manajemennya tidak bisa berjalan dengan
baik. Antara input dan proses mempunyai keterkaitan yang erat dan sangat
menentukan dalam menghasilkan suatu output kinerja yang sesuai harapan atau
tidak. Mengingat bahwa kinerja organisasi sangat dipengaruhi oleh faktor input
dan proses-proses manajemen dalam organisasi, maka upaya peningkatan kinerja
organisasi juga terkait erat dengan peningkatan kualitas faktor input dan
kualitas proses manajemen dalam organisasi tersebut.
Analisis
terhadap kondisi input dan proses-proses administrasi maupun manajemen dalam
organisasi merupakan analisis kondisi internal organisasi. Selain kondisi
internal tersebut kondisi-kondisi eksternal organisasi juga mempunyai peran
yang besar dalam mempengaruhi kinerja organisasi. Penilaian terhadap
faktor-faktor kondisi eksternal tersebut dapat dilakukan dalam analisis:
a.
kecenderungan politik, ekonomi,
sosial, teknologi, fisik, dan pendidikan
b.
peranan yang dimainkan oleh
pihak-pihak yang dapat diajak bekerja sama (collaborators) dan
pihak-pihak yang dapat menjadi kompetitor, seperti swasta, dan lembaga-lembaga
lain
c.
dukungan pihak-pihak yang menjadi
sumber resources seperti para pembayar pajak, asuransi, dan sebagainya (Bryson,
1995).
Berkaitan
dengan upaya peningkatan kinerja organisasi, maka pilihan mana yang akan
dioptimalkan penanganannya, apakah pada sisi internal organisasi atau pada sisi
eksternal organisasi, itu tergantung pada permasalahan yang dihadapi organisasi.
IV.
Peran
IT dalam Organisasi
Teknologi
informasi didefinisikan sebagai kemampuan yang ditawarkan pada organisasi oleh
komputer, aplikasi software, dan
telekomunikasi untuk mengirim data. Kemampuan IT melibatkan perbaikan akses
informasi dan koordinasi lintas unit organisasi. IT merupakan suatu alat yang
sangat kuat sehingga dapat menciptakan pilihan-pilihan desain proses baru
daripada sekedar mendukungnya. Teknologi Informasi telah mampu mengubah
lingkungan bisnis menjadi dinamis dan berinteraksi dengan perkembangan
teknologi informasi yang menyebabkan transformasi bisnis dan organisasi. Teknologi
informasi informasi dalam perkembangannya telah mampu berperan sebagai
katalisator untuk pembentukan dan penyusunan kembali organisasi dan berperan
aktif sebagai agen perubahan yang dramatis untuk memperoleh perbaikan yang
radikal dalam kinerja organisasi, baik dalam kualitas, biaya, pelayanan, dan
kecepatan.
Tipe
dan fungsi peranan teknologi informasi ini secara langsung akan berpengaruh
terhadap rancangan atau desain struktur organisasi perusahaan, struktur organisasi
departemen, divisi, atau unit terkait dengan sistem informasi, teknologi
informasi, dan manajemen informasi. Lima peranan mendasar
teknologi informasi dalam struktur organisasi adalah:
1.
Fungsi operasional, yang membuat struktur
organisasi menjadi lebih ramping dan jauh dari sifat birokratis karena sejumlah
aspek administratif yang ketat dan teratur telah diambil alih fungsinya oleh
teknologi informasi. Karena sifat penggunaannya yang menyebar di seluruh fungsi
organisasi, maka unit terkait dengan manajemen teknologi informasi akan
menjalankan fungsinya sebagai “supporting
agency” dimana teknologi
informasi dianggap sebagai sebuah “firm
infrastructure”.
2. Fungsi
monitoring and
control
mengandung arti bahwa keberadaan teknologi informasi akan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dengan aktivitas di level manajerial sehingga struktur
organisasi unit terkait dengannya harus dapat memiliki “span of control” atau “peer
relationship” yang memungkinkan terjadinya interaksi efektif dengan para
manajer di perusahaan terkait.
3. Fungsi
planning and decision
mengangkat teknologi informasi ke tataran peran yang lebih strategis lagi
karena keberadaannya sebagai enabler
dari rencana bisnis perusahaan dan merupakan sebuah “knowledge generator” bagi para pimpinan perusahaan yang dihadapkan
pada realitas untuk mengambil sejumlah keputusan penting sehari-harinya. Tidak
jarang perusahaan yang pada akhirnya memilih menempatkan unit teknologi
informasi sebagai bagian dari fungsi perencanaan dan/atau pengembangan korporat
karena fungsi strategis tersebut di
atas.
4. Fungsi
communication
secara prinsip termasuk ke dalam “firm
infrastructure” dalam era organisasi moderen dimana teknologi informasi
ditempatkan posisinya sebagai sarana atau media individu perusahaan dalam
berkomunikasi, berkolaborasi, berkooperasi, dan berinteraksi. Seperti halnya
pada fungsi operational, unit
teknologi informasi akan menempatkan dirinya sebagai penunjang aktivitas
sehari-hari perusahaan.
5.
Fungsi interorganisational
merupakan sebuah peranan yang cukup unik karena dipicu belakangan ini oleh
semangat globalisasi yang memaksa perusahaan untuk melakukan kolaborasi atau
menjalin kemitraan dengan sejumlah perusahaan lain. Konsep kemitraan strategis
atau partnerships berbasis teknologi informasi seperti pada implementasi Supply Chain Management atau Enterprise Resource Planning membuat
perusahaan melakukan sejumlah terobosan penting dalam mendesain struktur
organisasi unit teknologi informasinya. Bahkan tidak jarang ditemui perusahaan
yang cenderung melakukan kegiatan pengalihdayaan atau outsourcing sejumlah proses bisnis terkait dengan manajemen
teknologi informasinya ke pihak lain demi kelancaran bisnisnya.
Kemampuan
IT dapat memberikan wawasan yang baik terhadap kondisi yang ada. IT sebagai
salah satu dari beberapa pendorong dalam usaha BPR, termasuk sumber daya manusia dan
perubahan organisasi, semuanya harus dipertimbangkan bersama untuk membawa
perubahan dalam proses bisnis. Pendorong-pendorong ini perlu diidentifikasi
sejak awal dalam proses reengineering
sehingga proses desain memasukkan kemampuan IT sejak dari awal.
V.
Implementasi
IT dalam BPR
Menurut
Mohsen (2003), teknologi informasi dibutuhkan dalam BPR untuk melancarkan
setiap proses integrasi pada seluruh bagian struktur organisasi dalam
menerapkan perbaikan business process secara menyeluruh dan drastis. Information technology (IT) dalam BPR
juga diharapkan dapat meningkatkan kelancaran komunikasi antar
sektoral/departemental dalam suatu perusahaan untuk menciptakan team building yang tangguh. Disamping
hal tersebut, IT juga diharapkan mampu mengintegrasikan hardware dan software di
dalam perusahaan untuk mencapai sasaran bersama berupa minimum lead time di berbagai level dan sektor
produksi.
Implementasi
IT dalam BPR bagi perusahaan dapat
dilakukan melalui empat cara, seperti yang dikutip dari Richardus Eko Indrajit, 2007 dalam http://mrzie3r.wordpress.com. Empat
cara paling umum yang dapat dilakukan dari implementasi IT dalam BPR.
Cara pertama adalah menghilangkan (eliminate)
proses-proses yang dianggap tidak perlu lagi dilakukan jika sistem komputer
diimplementasikan. Proses-proses seperti pengecekan secara manual terhadap
kalkulasi-kalkulasi rumit yang tidak perlu lagi dilakukan setelah program
berbasis spreadsheet dikembangkan
merupakan salah satu contoh dari kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi
informasi. Cara kedua adalah penyederhanaan (simplification)
proses-proses tertentu atau pengurangan rantai proses untuk tujuan pelaksanaan
aktivitas yang lebih cepat dan murah. Cara ketiga, adalah melalui perbaikan
proses (process improvement) berupa
kemungkinan diintegrasikannya beberapa proses yang biasanya ditangani oleh
beberapa karyawan dari berbagai divisi yang terpisah menjadi sebuah proses yang
lebih sederhana. Terakhir implementasi IT sehubungan dengan BPR adalah berupa
otomatisasi (automatitation). Dalam
teknik ini, aktivitas inti yang dilakukan adalah merubah hal-hal yang biasanya
dilakukan secara manual menjadi aktivitas yang menggunakan komputer. Penggunaan
robotik pada industri manufakturing merupakan salah satu pemanfaatan teknologi
informasi yang sangat populer di Jepang, Amerika, dan negara-negara Eropa.
Untuk perusahaan yang bergerak di bidang jasa, biasanya proses-proses seperti data capture, data transfer, dan data analysis juga telah
dikomputerisasikan karena telah terbukti lebih cepat, lebih murah, lebih
akurat/terpercaya, dan lebih
menyenangkan.
Pada
kenyataannya, tidak semua perusahaan secara penuh mempergunakan keempat cara seperti
tersebut dia atas. Ada sebagian perusahaan yang hanya berhasil melakukan
otomatisasi saja, sementara perusahaan yang lain sudah melakukan eliminasi dan
penyederhanaan proses-proses utama. Hal ini wajar, mengingat bahwa pada
akhirnya, faktor manusialah yang akan menjadi faktor penentu utama keberhasilan
program BPR karena para karyawanlah yang akan menjalankan proses-proses yang
baru.
VI.
Optimalisasi IT pada BPR dalam Meningkatkan Organizational Performance
Teknologi Informasi yang merupakan pengembangan dari
teknologi komputer
yang dipadukan dengan teknologi telekomunikasi memegang peran ynag sangat penting dan bertindak sebagai pendukung utama dalam proses reengineering. Penggunaan Teknologi
Informasi dapat memberikan beberapa metode dalam cara berpikir, yaitu secara induktif mengembangkan
kemampuan untuk mengenali cara solusi yang tepat dan kemudian mencari jenis
masalah apa yang dapat dipecahkan dengan solusi tersebut. Oleh karena itu
Teknologi Informasi sering disebut sebagai disruptive
technology karena kemampuannya dalam memecahkan masalah atau mengubah
aturan lama yang menghalangi orang untuk melakukan pekerjaannya.
Pengoptimalan IT pada
BPR akan mempermudah organisasi untuk membuat perbaikan di segala bidang
dalam pelayanan organisasi, contohnya sumber daya manusia, proses kerja, dan
teknologi. IT juga mampu menolong organisasi untuk
melewati rintangan
sistem kerja yang tidak mendukung pencapaian tingkat kepuasaan pelanggan. Dan terakhir menurut Hartono (2005), Teknologi Informasi telah memungkinkan
organisasi untuk membangun new business
model dalam hal penawaran barang dan jasa ataupun baru dalam hal cara pengiriman
atau penyamapaiannya kepada konsumen akhir.
Gambar Implementasi IT pada BPR dalam Peningkatan Organizational Performance
Sumber:
Diolah dari berbagai sumber
Dari gambar
di atas dapat diketahui bahwa IT bertindak sebagai katalisator dan pendukung
utama dalam pelaksanaan BPR dalam sebuah organisasi. IT membantu organiasasi
untuk melakukan kontrol atas aktivitas organisasional, perencanaan dan
pengambilan keputusan, dan mengkomunikasikannya pada organisasi secara
keseluruhan. Implementasi tersebut akan mempengaruhi bisnis proses perusahaan
melalui penghapusan proses yang tidak bernilai tambah dan automatisasi yang
mampu membuat proses bisnis yang ada menjadi lebih sederhana. Dari sini,
organisasi akan dapat memperbaiki dan merancang ulang proses bisnisnya.
Perbaikan
proses bisnis tersebut selanjutnya akan diukur menggunakan beberapa indikator yang
disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh orgnaisasi. Jika
indikator-indikator yang ada menunjukkan hasil yang positif, berarti organisasi
telah mampu memperbaiki proses bisnisnya dan pada akhirnya berdampak pada
perbaikan kinerja organisasi. Organisasi menjadi lebih lebih cepat dalam
merespon dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan yang ada dan hasil akhirnya
dapat dicapai sebuah proses yang efektif dan efisien dalam penyediaan pelayanan
yang berkualitas kepada pelanggannya.
VII.
Penutup
Business Process Reenginering merupakan perancangan ulang
proses bisnis untuk mencapai perbaikan sistem organisasi yang bersifat
fundamental, radikal, dramatis serta berorientasi pada proses. BPR juga
memungkinkan organisasi untuk
memperbaharui
komitmen mereka terhadap pelayanan kepada pelanggannya. Untuk mencapai hal tersebut, pemanfaatan Teknologi
Informasi secara mutlak diperlukan untuk mencapai keberhasilan desain ulang
proses bisnis suatu organisasi.
Penggunaan IT bukan hanya sebagai
faktor substitusi saja, tetapi sebagai bagian dari strategi organisasi untuk
mentransformasikan proses bisnis ke arah yang lebih efisien. Optimalisasi IT
yang tepat membuat organisasi mampu melakukan elimination, simplification,
improvement, dan automatitation pada aktivitas bisnisnya. Hal ini akan menciptakan
model bisnis baru bagi suatu organisasi dengan memanfaatkan peluang dari Teknologi
Informasi yang ada untuk menciptakan sesuatu yang baru dan dapat diterima oleh
pelanggannya. Dengan demikian organisasi akan dapat memperbaiki proses
bisnisnya untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan yang lebih berkualitas
melalui peningkatan organizational
performance.
Referensi
Attaran,
Mohsen, Information Technology and
Business-Process Redesign, Business Process Management Journal Vol. 9 No.
4, 2003 pp. 440-458.
Hammer M.
and Champy J. 1993. Reengineering the
Corporation. A manifesto for Business Revolution Harper Business.
Indrajit, Richardus Eko. 2007. Tawaran Teknologi Informasi Pada Business
Process Reengineering. Dimuat dalam http://mrzie3r.wordpress.com. Diakses
pada Rabu, 9 Juni 2010.
Martin, J. 1981. Telematic Society: A
chalellenge for tomorrow. Prentice Hall: Englewood Cliffs, NJ.
Naisbitt, J .1982. “Megatrend”.
Warner Books. New York: NY.
Sharma M.
(2006). Business Process Reengineering: A Tool to further Bank Strategic Goals. Journal of Management Information Systems 12: 1.