Pembangunan Berbasis Perikanan
Melalui Restrukturisasi Mata Rantai Produksi dan Pemasaran Ikan :
Analisis Inbound dan Outbound
Oleh :
Ada
satu pertanyaan menarik di balik kehidupan nelayan di tanah air tercinta ini.
Di tengah situasi di mana produksi tangkapan ikan dari tahun ke tahun terus
meningkat, mengapa kebutuhan nelayan relatif tetap stagnan dan bahkan dalam beberapa kasus
justru mengalami degradasi. Apakah faktor-faktor yang melandasinya? Hal
tersebut menimbulkan sebuah ironi yang sangat bagi kita semua karena bagaimana
bisa, sebuah negeri dengan kekayaan laut yang begitu melimpah malah tidak
memberikan kesejahteraan bagi para nelayan? Apa sebetulnya yang menjadi
masalah? Tulisan berikut ini akan mencoba untuk menguraikan permasalahan
tersebut secara lebih mendalam dan memberikan solusi aplikaif.
Nelayan,
Nasibmu Kini
Bank Dunia
memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk
Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin.
Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,–
per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda
dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar
34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut
diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar
AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi
kita adalah bukan memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di
Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan
tersebut.
Dengan
potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan
identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di
Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang
buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal
harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada
keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Kenyataannya
sekarang adalah bahwa nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22
persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan
. Selama ini mereka menjadi golongan yang paling terpinggirkan karena kebijakan
dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta
jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan
pesisir dan pedesaan. Di sisi lain pengelolaan dan pemanfaatan potensi
sumberdaya kelautan dan pesisir selalu beriringan dengan kerusakan lingkungan
dan habitat seperti terumbu karang dan hutan mangrove, dan hampir semua
eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.
Disamping itu, tekanan terhadap
sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di
wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena
penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun
penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan.
Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak
masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan
pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih
besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan
pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem
pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu
sendiri.
Problematika Proses
Produksi dan Pemasaran Ikan Indonesia
Masalah yang
dihadapi oleh sebagian besar nelayan dalam memasarkan produknya antara lain
adalah produk belum standar dalam hal jenis dan ukuran; serta kondisi fisik
dari produk belum memenuhi persyaratan mutu. Dengan masih adanya masalah
tersebut, pengepul sebagai pembeli produk kadang kecewa dengan hasil panen yang
dibeli karena tidak sesuai dengan klasifikasi udang yang diinginkan. Demikian
pula, belum dikuasainya teknologi pasca panen dan kurangnya peralatan
pengemasan dan transportasi untuk pengiriman jarak jauh, menyebabkan jangkauan
pemasaran hasil produk masih terbatas atau hanya berorientasi lokal.
Disisi lain
kedudukan nelayan dalam posisi tawar menawar juga sangat rendah. Ini mengakibatkan
sebagian besar nelayan menjual hasil tangkapanya kepada tengkulak dengan harga
yang kebanyakan dibawah harga yang sebenarnya atau dibawah harga pasaran. Salah
satu penyebabnya adalah tidak
semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sehingga
mereka mudah ditipu.
Namun keberadaan
TPI juga menjadi hal yang dilema. Di satu sisi, keberdaan TPI sangat diperlukan
sebagai tempat untuk memasarkan hasil ikan, sehingga banyak sekali transaksi
yang terjadi dengan efektif dan melalui mekanisme yang layak seperti pasar pada
umumnya. Disisi lain retribusi yang terlalu tinggi menyebabkna nelayan untuk
enggan masuk ke TPI dan menjual ikan langsung pada pedagang ikan, sehingga mereka
sering kali di tipu. Ini merupakan hal yang harus kita selesaikan bersama dan
mampu memberikan solusi terbaik untuk keberhasilan pembangunan perikanan di
Indonesia.
Selanjutnya
terkait masalah proses produksi yaitu hal yang berkaitan dengan operasional
nelayan dalam melaut, terdapat permasalahan pelik yang harus segera
diselesikan. Salah satunya adalah masalah kenaikan BBM yang merupakan momok bagi
nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Tidak
adanya jaminan pemerintah untuk menambah alokasi bahan bakar minyak bersubsidi
bagi nelayan dalam APBN Perubahan 2010, mengakibatkan ondisi nelayan Indonesia
terancam semakin sulit. Kekurangan BBM subsidi bagi nelayan setiap tahun
sekitar 1,2 juta kiloliter.
Nelayan selama
ini selalu didera kesulitan BBM. Di sejumlah sentra nelayan, pasokan BBM
bersubsidi masih langka. Jikapun tersedia, harga jual umumnya lebih mahal
sehingga tak terjangkau nelayan. Padahal, kebutuhan BBM menghabiskan 40 persen
dari biaya operasional. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan
rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap sampan akan mengelurakan
biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100.
Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena
tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya
maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga solar
sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa
melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan.
Selain itu, proses pemangkasan
kekuatan rakyat pada masa orde baru, masih terasakan dengan melemahnya
kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih
efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu.
Biasanya setelah jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan
demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu
laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya,
semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah
mulai pudar, dan hanya menjadi ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural
terjadi karena negara sejak lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini
sehingga hanya dikuasai segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh
kapal-kapal asing.
Analisis
Inbound dan Outbound Dalam Rantai Produksi dan Pemasaran
Dalam
kaitanya dengan proses produksi, nelayan akan menemui suatu sistem yang kompleks dimana elemen-elemen di
dalamnya saling berinteraksi. Dalam sistem produksi perikanan yang kompleks ini tentunya banyak persoalan yang harus
kita tanggulangi. Untuk menangani persoalan alam, sosial, ekonomi, dan politik yang tidak terstruktur kita
perlu menyusun tahapan-tahapan dalam menyelesaikan persoalan tersebut dan perlu
menetapkan tujuan kita dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Untuk
meningkatkan hubungan dan kerja sama yang baik dalam rantai produksi yang dalam
hal ini adalah kemampuan nelayan untuk memasarkan hasil tangkapanya , maka
nelayan harus mampu menciptakan value
chain.
Penciptaan value chain ini erat
kaitanya dengan proses outbound.Proses
outbound memberikan gambaran betapa pentingnya desain dan peren-canaan jaringan
pemsaran dan fungsi yang bersifat strategis untuk menyalurkan produksi ikan
sampai di tangan konsumen Proses pemenuhan keinginan konsumen akan semakin
terpusat pada penwrana produk yang mampu meningkatkan nilai jualnya. Nelayan dibantu dengan pemerintah
harus mampu menciptakan keterkaitan yang erat antara nelayan, pengepul, penjual
di TPI maupun konsumen. Jadi fokus pada lini ini adalah pada sistem distribusi
dan penjualanya sampai ke tangan konsumen.
Dari
sudut pandang inbound logistic, rantai pproduksi memiliki berbagai manfaat
bagi organisasi diantaranya pengurangan biaya, integrasi supplier dalam pengambilan
keputusan untuk mendorong inovasi ramah lingkungan (Bowen et al., 2001). Dalam
kasus ini karena nelayan harus membina hubunan baik dan mampu mengintegrasikan
diri dengan supplier yaitu laut sebagai penghasil ikan. Karena kondisi laut yang
bergantung pada alam, maka nelayan juga harus memiliki rasa cinta dan kesadaran
untuk melestarikan hasil laut. Tidak hanya memanen hasil, tetapi juga harus
melakukan perbuatan yang mendukung pelestarian berkelanjutan terhadap kondisi laut
dan hasilnya.
Langkah
Aplikatif dalam Merestrukturisasi Mata Rantai
Sejak Juni 2005,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan program pembangunan
perikanan yang terangkum dalam restrukturisasi perikanan, Perikanan dan
Kehutanan (RPPK). Namun setelah program tersebut berjalan selama hampir lima
tahun, para pemangku kepentingan (stakeholders) disektor perikanan, khususnya
para nelayan, belum mampu merasakan manfaat dari program restrukturisasi perikanan
tersebut alih-alih untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, restrukturisasi
perikanan justru lebih banyak dinikmati kalangan industri dan pedagang.
Masyarakat
nelayan tetap harus bergelut dengan kemiskinan dan termaginalkan di tengah
kebutuhan hidup yang makin menjerat leher. Pasalnya, program restrukturisasi perikanan
yang berjalan saat ini lebih difokuskan pada peningkatan hasil produksi
(tangkapan) perikanan dalam rangka mengejar angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Banyak bukti menunjukkan, paket-paket program pengentasan kemiskinan bagi
masyarakat nelayan pun lebih banyak berorientasi pada peningkatan produksi
melalui stimulan modal usaha berbunga rendah daripada untuk tujuan
pendistribusian kesejahteraan
Menyikapi
kondisi nelayan yang semakin memprihatinkan tersebut , baik dalam hal produksi
ikan maupun tingkat kesejahteraanya sanagt perlu dilakukan restrukturisasi proses
yang telah berjalan sekarang. Ditambah lagi dengan analisis inbound dan outbound
diatas, maka dapat dilakukan
langkah-langkah aplikatif diantaranya :
1. Pemerintah,
masyaraat dan nelayan harus mampu menciptakan keterpaduan dalam hal :
-
Keterpaduan sektor dalam tanggung jawab dan kebijakan.
-
Keterpaduan keahlian dan pengetahuan
-
keterpaduan
masalah dan pemecahan masalah
-
keterpaduan
lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan, penyuluhan dan pelayanan
(lintas sektor)
2. Pemerintah
dapat memaksimalkan penyaluran modal bagi para nelayan dengan menambah anggaran
dan menjadikan perikanan sebagai program unggulan dan prioritas.
3. Pihak
kampus atau golongan cendekiawan lainya dapat memberikan bantuan pemikiran dan
tenaga melalui dosen dan mahasiswanya dalam mendampingi para penerima modal
tersebut serta memberikan bantuan teknologi bagi para nelayan untuk
mengembangkan usahanya.
4. Untuk
masalah pemasaran, pemerintah dan kampus dapat secara bersama-sama mendirikan
pusat informasi pasar yang bisa diakses oleh semua masyarakat
5. Menyelaraskan
kebijakan TPI dengan keinginan nelayan. Untuk menyikapinya terdapat dua
alternatif :
-
Menghapus TPI, sehingga transaksi
langsung dilakukan anatar nelayan dengan pedagang ikan langsung
-
Tidak menghapu TPI, namun dengan syarat
administrasi dan retribusi yang diminta kepada nelayan tidak terlalu tinggi
6. Hal
yang tidak kalah penting adalah perlunya dilakukan rehabilitasi lingkungan
pesisir yang rusak. Jika hal tersebut dibiarkan, dikhawatirkan dapat berakibat
selain semakin rusaknya lingkungan pesisir laut, sumber daya perikanannya juga
akan semakin berkurang, padahal jumlah nelayan justru terus bertambah banyak.
Pembinaan dan penyuluhan yang diberikan kepada nelayan harus disesuaikan dengan
kebutuhan, sehingga apa yang disuluhkan benar-benar bermanfaat dan bisa
diaplikasikan.
Ada tiga
parameter untuk mengukur keberhasilan pembangunan hasil perikanan berdasarak
uraian diatas yaitu:
-
Kontinyuitas produksi
-
Kualitas hasil produksi yang dihasilkan
menjadi baik
-
Kehidupan nelayan ikan yang sejahtera
Ketiga parameter
tersebut harus mampu dicapai terutama untuk pemerintah sekarang. Kebijakan
pembangunan harus mampu disinergiskan untuk mewujudkan tercapainya
indikator-indikator tersebut diatas. Jika indikator tersebut sudah tercapai
maka kondisi perikanan diIndonesia akan berangsung-angsunr membaik seiring
dengan komitmen pemerintah, nelayan dan masyarakat sekitar
Jadi, harus
disadari, saat ini yang diperlukan nelayan adalah adanya kesungguhan hati dari
pemerintah untuk memebrikan proteksi atau perlindungan kepada nelayan agar
mereka bisa lebih proposional dan lebih adil dalam memperoleh pembagaian margin
keuntungan sesuai dengan hak-haknya. Jika, jamahan tenagntangan kekuasaan
tengkulak tetap dibiarakan bercokol, niscaya nelayan akan teteap menjadi salah
satu kelompok masyarakat yang tertinggal dari laju pembangunan.
Referensi :
Bowen, F.E., Cousins, P.D.,
Lamming, R.C., dan Faruk, A.C., (2001), Horses for courses: Explaining the gap
between theory and practice of supply chain, Greener Management
International, Autumn, 41-66.
Sudrajat, Ihwan. “Membangkitkan
Kekuatan Ekonomi Nelayan”. Suara Merdeka, 13 Desember 2002.